![]() |
IBU (GURU) UNTUK ANAK-ANAK KITA Part3 |
.
.
.
Nindia hanya mengangguk, pandangannya beralih pada laki-laki berjaket hitam dengan menampakkan kaus putih yang tengah menatapnya. Ia menaikkan satu alisnya. “Apa kabar Nin?” tanya laki-laki itu.
Perlahan Nindia ingat siapa orang itu. “Baik Ham.” senyumnya menyambut senyuman laki-laki itu. Namanya Ilham, mereka satu angkatan, hanya berbeda fakultas. Sekitar satu tahun lalu mereka berkenalan di salah satu kesempatan ketika kampus tengah mengadakan sebuah acara. Nindia saja sampai lupa acara apa karena semenjak itu mereka tak pernah bertemu lagi, mungkin hanya berpapasan itu pun ia tidak pernah sadar.
Wirda ikut melirik laki-laki yang duduk di depannya, ia bahkan tak tahu kalau ada orang. “Eh? Si Ilham!” sergapnya, sontak membuat Nindia mengerutkan kening bingung.
Ilham mengalihkan pandangannya. “Hei Da, apa kabar?” tanyanya basa-basi pada Wirda.
Wirda tak menjawab, ia hanya menaikturunkan kedua alisnya sambil melirik Nindia yang kini sudah sibuk membuka lembar demi lembar buku yang didapatnya.
“Lama nggak lihat kamu Nin.” Suara Ilham kembali terdengar hingga membuat Nindia mendongak, menatap laki-laki itu yang tengah tersenyum.
“Dia kan sibuk Ham, sok sibuk lebih tepatnya.” Tiba-tiba Wirda menyerobot jatah Nindia untuk menjawab. Refleks Nindia memicingkan mata meliriknya tajam. “Elah, masa marah? Tapi benar kan apa yang aku bilang Nin? Kerja sambil kuliah tuh repot,” tukasnya mulai berceloteh ria dengan pandangan terpusat ke layar laptop.
Ilham melirik Wirda dan beralih ke arah Nindia yang tengah menatapnya. “Kamu sekarang kerja? Kerja di mana?” tanyanya lembut.
“Kenapa nggak fokus kuliah aja sih Nin? Kamu tuh sudah sering banget absen sama tugas tahu!” Wirda kembali menyemprot, membiarkan pertanyaan Ilham hilang tertiup angin. Sebenarnya ia sudah sering menyuruh Nindia untuk memilih salah satu, kuliah atau mengajar. Bagaimana pun Nindia harus fokus dengan salah satunya jika tidak ingin berat sebelah, sudah sering Wirda mendengar keluh kesah temannya itu tapi kalau dikasih masukan untuk memilih salah satu tak pernah dilakukan.
Nindia menghela napas. “Nggak bisa Da,” ditolehkan kepalanya menatap Wirda, “aku harus bantu orang tua juga bayar kuliah sendiri.” Sudah sering Nindia mengatakan itu pada Wirda tapi tak jarang ia juga kelabakan dengan tugas-tugas yang terbengkalai karena ia harus menjadi seorang guru saat masa kuliahnya yang baru memasuki semester empat.
Jawaban Nindia membuat Wirda menomor dua kan layar laptopnya yang sedari tadi tak pernah lepas. “Kalo gitu kenapa sih kamu nggak fokus ngajar aja, kan udah lumayan kamu jadi guru, nggak perlu sekolah lagi.”
“Eh, itu lebih nggak bisa!” sela Nindia cepat bahkan tanpa mereka sadar Ilham tengah mendengarkan pembicaraan mereka. “Kita ini sama-sama perempuan Da, kelak akan jadi seorang ibu. Aku masih butuh banyak ilmu buat jadi ibu yang baik untuk anakku nanti karena ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya.” Penuturan Nindia membuat Wirda membeku, ternyata itu alasannya.
Wirda tersenyum, dielus bahu Nindia lembut. “Maafin aku Nin, sekarang aku paham. Insha Allah aku selalu dukung apa yang kamu pilih Nin, hidup ini pilihan, kamu berhak memilih hidupmu.”
“Makasih Da.” Refleks mereka berpelukan, mengelus punggung satu sama lain lembut, seakan menyalurkan perasaan mereka masing-masing. Namun acara peluk-memeluk mereka terhenti ketika mendengar deheman seseorang, mereka melirik Ilham yang tengah tersenyum pasta gigi.
“Eh, jadi drama gini, ditonton Ilham lagi,” celetuk Wirda.
Nindia hanya tersenyum. “Ya udah ya, aku duluan—”
“Bareng sama aku Nin?” Nindia langsung menoleh ke arah Ilham, laki-laki itu juga sudah bangkit dari duduknya.
“Enggak usah Ham. Aku bisa sendiri, makasih. Assalamualaikum,” salam Nindia dan segera berlalu meninggalkan mereka.
“Waalaikumsalam, hati-hati Nin.”
Ilham terus menatap kepergian Nindia sampai perempuan itu tak terlihat karena sudah keluar dari area ruang baca. “Masya Allah, bidadari surga,” gumamnya lirih.
.
.
Nindia hanya mengangguk, pandangannya beralih pada laki-laki berjaket hitam dengan menampakkan kaus putih yang tengah menatapnya. Ia menaikkan satu alisnya. “Apa kabar Nin?” tanya laki-laki itu.
Perlahan Nindia ingat siapa orang itu. “Baik Ham.” senyumnya menyambut senyuman laki-laki itu. Namanya Ilham, mereka satu angkatan, hanya berbeda fakultas. Sekitar satu tahun lalu mereka berkenalan di salah satu kesempatan ketika kampus tengah mengadakan sebuah acara. Nindia saja sampai lupa acara apa karena semenjak itu mereka tak pernah bertemu lagi, mungkin hanya berpapasan itu pun ia tidak pernah sadar.
Wirda ikut melirik laki-laki yang duduk di depannya, ia bahkan tak tahu kalau ada orang. “Eh? Si Ilham!” sergapnya, sontak membuat Nindia mengerutkan kening bingung.
Ilham mengalihkan pandangannya. “Hei Da, apa kabar?” tanyanya basa-basi pada Wirda.
Wirda tak menjawab, ia hanya menaikturunkan kedua alisnya sambil melirik Nindia yang kini sudah sibuk membuka lembar demi lembar buku yang didapatnya.
“Lama nggak lihat kamu Nin.” Suara Ilham kembali terdengar hingga membuat Nindia mendongak, menatap laki-laki itu yang tengah tersenyum.
“Dia kan sibuk Ham, sok sibuk lebih tepatnya.” Tiba-tiba Wirda menyerobot jatah Nindia untuk menjawab. Refleks Nindia memicingkan mata meliriknya tajam. “Elah, masa marah? Tapi benar kan apa yang aku bilang Nin? Kerja sambil kuliah tuh repot,” tukasnya mulai berceloteh ria dengan pandangan terpusat ke layar laptop.
Ilham melirik Wirda dan beralih ke arah Nindia yang tengah menatapnya. “Kamu sekarang kerja? Kerja di mana?” tanyanya lembut.
“Kenapa nggak fokus kuliah aja sih Nin? Kamu tuh sudah sering banget absen sama tugas tahu!” Wirda kembali menyemprot, membiarkan pertanyaan Ilham hilang tertiup angin. Sebenarnya ia sudah sering menyuruh Nindia untuk memilih salah satu, kuliah atau mengajar. Bagaimana pun Nindia harus fokus dengan salah satunya jika tidak ingin berat sebelah, sudah sering Wirda mendengar keluh kesah temannya itu tapi kalau dikasih masukan untuk memilih salah satu tak pernah dilakukan.
Nindia menghela napas. “Nggak bisa Da,” ditolehkan kepalanya menatap Wirda, “aku harus bantu orang tua juga bayar kuliah sendiri.” Sudah sering Nindia mengatakan itu pada Wirda tapi tak jarang ia juga kelabakan dengan tugas-tugas yang terbengkalai karena ia harus menjadi seorang guru saat masa kuliahnya yang baru memasuki semester empat.
Jawaban Nindia membuat Wirda menomor dua kan layar laptopnya yang sedari tadi tak pernah lepas. “Kalo gitu kenapa sih kamu nggak fokus ngajar aja, kan udah lumayan kamu jadi guru, nggak perlu sekolah lagi.”
“Eh, itu lebih nggak bisa!” sela Nindia cepat bahkan tanpa mereka sadar Ilham tengah mendengarkan pembicaraan mereka. “Kita ini sama-sama perempuan Da, kelak akan jadi seorang ibu. Aku masih butuh banyak ilmu buat jadi ibu yang baik untuk anakku nanti karena ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya.” Penuturan Nindia membuat Wirda membeku, ternyata itu alasannya.
Wirda tersenyum, dielus bahu Nindia lembut. “Maafin aku Nin, sekarang aku paham. Insha Allah aku selalu dukung apa yang kamu pilih Nin, hidup ini pilihan, kamu berhak memilih hidupmu.”
“Makasih Da.” Refleks mereka berpelukan, mengelus punggung satu sama lain lembut, seakan menyalurkan perasaan mereka masing-masing. Namun acara peluk-memeluk mereka terhenti ketika mendengar deheman seseorang, mereka melirik Ilham yang tengah tersenyum pasta gigi.
“Eh, jadi drama gini, ditonton Ilham lagi,” celetuk Wirda.
Nindia hanya tersenyum. “Ya udah ya, aku duluan—”
“Bareng sama aku Nin?” Nindia langsung menoleh ke arah Ilham, laki-laki itu juga sudah bangkit dari duduknya.
“Enggak usah Ham. Aku bisa sendiri, makasih. Assalamualaikum,” salam Nindia dan segera berlalu meninggalkan mereka.
“Waalaikumsalam, hati-hati Nin.”
Ilham terus menatap kepergian Nindia sampai perempuan itu tak terlihat karena sudah keluar dari area ruang baca. “Masya Allah, bidadari surga,” gumamnya lirih.
.
.
.
Tbc
Comments
Post a Comment