![]() |
IBU (GURU) UNTUK ANAK-ANAK KITA Part 4 |
.
.
.
“Eh, Lulu? Kok belum pulang?” Nindia berjalan mendekati anak kecil berseragam TK tengah duduk sendirian di ruang tunggu jemputan, dielus puncak kepalanya lembut.
Lulu mendongak dan tersenyum. “Papa belom jemput, Bu Guru,” jawabnya polos.
“Bu Guru temenin ya,” tutur Nindia lembut dan ikut duduk di samping gadis kecil yang tengah memegang gulungan kertas di tangannya. “Itu apa Lulu?” tanyanya melirik kertas tersebut.
Lulu kembali menatap Nindia dan segera membuka gulungan kertas tersebut, terlihat sebuah gambar dengan pewarna crayon khas anak TK. Gambar seorang perempuan. “Ini tugas dari Bu Tika tadi, Bu Guru. Tadi disuruh menggambar orang yang Lulu sayang, Lulu gambar Mama Lulu soalnya Lulu sayang Mama tapi... Lulu nggak punya Mama.” Dengan jelas Nindia menatap manik mata gadis kecil itu yang kini tengah mendongak. Rasa sesak tiba-tiba menyelimuti hatinya, air mata pun sudah menggenang di pelupuk matanya dan menetes tanpa diberi aba-aba. “Bu Guru kenapa nangis?” pertanyaan Lulu sontak membuat Nindia segera menyekat air matanya.
“Kalo gitu nanti gambarnya kasih ke Papa aja,” ucap Nindia dengan suara seraknya, tak lupa senyumnya muncul.
Lulu menundukkan kepala dan menggeleng. “Nggak mau! Ini gambar buat Mama Lulu.” Gadis kecil itu kembali mendongak, “boleh enggak Lulu kasih gambar ini ke Bu Guru? Soalnya Bu Guru kayak Mama Lulu, baik, cantik.” Nindia tak kuasa menahan air matanya lagi ketika wajah polos dengan senyum itu.
Nindia mengangguk sambil terus meneteskan air matanya. “Boleh, boleh sayang... boleh.” Ia langsung memeluk gadis kecil itu sangat erat. Baru ini Nindia diperlakukan pada muridnya seperti ini, dianggap seperti ibunya sendiri, seperti inilah pengabdian yang ia maksud.
“PAPA!” teriak Lulu. Nindia segera melepas pelukan Lulu dan menoleh ke belakang.
“Ilham?” gumam Nindia ketika netranya menangkap sosok Ilham di sana, berdiri membisu. Ilham?
.
.
.
Tbc
.
.
“Eh, Lulu? Kok belum pulang?” Nindia berjalan mendekati anak kecil berseragam TK tengah duduk sendirian di ruang tunggu jemputan, dielus puncak kepalanya lembut.
Lulu mendongak dan tersenyum. “Papa belom jemput, Bu Guru,” jawabnya polos.
“Bu Guru temenin ya,” tutur Nindia lembut dan ikut duduk di samping gadis kecil yang tengah memegang gulungan kertas di tangannya. “Itu apa Lulu?” tanyanya melirik kertas tersebut.
Lulu kembali menatap Nindia dan segera membuka gulungan kertas tersebut, terlihat sebuah gambar dengan pewarna crayon khas anak TK. Gambar seorang perempuan. “Ini tugas dari Bu Tika tadi, Bu Guru. Tadi disuruh menggambar orang yang Lulu sayang, Lulu gambar Mama Lulu soalnya Lulu sayang Mama tapi... Lulu nggak punya Mama.” Dengan jelas Nindia menatap manik mata gadis kecil itu yang kini tengah mendongak. Rasa sesak tiba-tiba menyelimuti hatinya, air mata pun sudah menggenang di pelupuk matanya dan menetes tanpa diberi aba-aba. “Bu Guru kenapa nangis?” pertanyaan Lulu sontak membuat Nindia segera menyekat air matanya.
“Kalo gitu nanti gambarnya kasih ke Papa aja,” ucap Nindia dengan suara seraknya, tak lupa senyumnya muncul.
Lulu menundukkan kepala dan menggeleng. “Nggak mau! Ini gambar buat Mama Lulu.” Gadis kecil itu kembali mendongak, “boleh enggak Lulu kasih gambar ini ke Bu Guru? Soalnya Bu Guru kayak Mama Lulu, baik, cantik.” Nindia tak kuasa menahan air matanya lagi ketika wajah polos dengan senyum itu.
Nindia mengangguk sambil terus meneteskan air matanya. “Boleh, boleh sayang... boleh.” Ia langsung memeluk gadis kecil itu sangat erat. Baru ini Nindia diperlakukan pada muridnya seperti ini, dianggap seperti ibunya sendiri, seperti inilah pengabdian yang ia maksud.
“PAPA!” teriak Lulu. Nindia segera melepas pelukan Lulu dan menoleh ke belakang.
“Ilham?” gumam Nindia ketika netranya menangkap sosok Ilham di sana, berdiri membisu. Ilham?
.
.
.
Tbc
Comments
Post a Comment