![]() |
SOAL RINDU part 3 |
.
.
.
“Sakit enggak?”
“Engga—agh di—dikit.. sakit Mel.” Aku tertawa melihat ekspresi di wajah Abram. Laki-laki ini, gayanya sok cowok, sok gentle tapi baru dipijat pelan saja kesakitan. “Kok malah ketawa sih?!”
“Lucu ih kamu,” jawabku polos.
“Kalo kamu lucunya nggak bikin ketawa Mel.”
“Terus apa?” kutatap wajah Abram, laki-laki berperawakan tinggi dengan warna kulit coklat sawo matang tapi manis itu.
Abram tersenyum, “bikin sayang.”
“Ihh.. ngeselin! Geli apaan deh Bram!” ku pukul pundaknya keras-keras sampai si empunya mengaduh kesakitan dengan tawanya.
Di tengah canda kami tiba-tiba ponsel Abram berdering. “Notif. Notif,” ucapku menyudahi tawa.
“Apaan sih cemburu aja.” Dielusnya kepalaku lembut. Abram segera mengambil ponselnya dan dering pun mati. Ia pun menatapku kembali.
“Telepon kan? Kok enggak diangkat?”
“Bukan apa-apa.. dimatiin kok sama sananya—” ponselnya kembali berdering, sepertinya memang telepon.
“Angkat aja kalik, enggak papa.” Aku pun mulai menyibukkan diri membereskan perlengkapan yang digunakan untuk mengobati luka ditangan Abram dan tanpa aba-aba kulangkahkan kakiku menuju laci pojok ruang ganti tempat khusus P3K untuk mengembalikan barang tersebut pada tempatnya.
“Halo?” samar-samar kudengar suara Abram, kulirik dirinya yang sedang keluar ruang ganti. Siapa sih sampe aku nggak boleh tau?
“Jangan matikan HP-mu
Kau tahu aku benci khawatir saat kau tak mengabari
Aku tak suka bertanya-tanya.
Ingin kubakar dia yang sering mention-mention-an denganmu di Twitter
Namun kau selalu meyakinkanku tuk tumbuhkan percaya bukan rasa curiga.”
•
Sinar pagi menerobos kelopak mataku yang masih tertutup rapat, perlahan kubuka sambil menggeleng ke kanan dan kiri untuk menghalau sinar yang terus menyorot. Di bus? Ah.. astaga aku masih di perjalanan menuju kampung halaman.. apa-apaan ini, kenapa kejadian itu kembali masuk dalam mimpiku. Soal aku dan Abram. Kubenarkan posisi dudukku, sedikit pegal. Mataku tertuju ke kaca bus yang menampilkan pemandangan kabut di sepanjang jalan.
Abram, laki-laki pertama yang aku suka dan laki-laki pertama yang menyatakan suka pada perempuan introvert sepertiku. Satu tahun yang lalu aku mengenalnya sebagai senior di tempat kerja pertamaku. Sebagai karyawan baru yang masih bau kencur yang baru lulus bangku sekolah atas, Abram-lah yang membantu kesulitanku. Aku tahu dulu ia punya kekasih, Abram selalu menceritakannya padaku termasuk keburukan kekasihnya.
“Vina itu anaknya manja parah! Egois minta ini minta itu sama gua, pusing anjir!” salah satunya seperti itu. Kala itu kita sudah kenal hampir lima bulan, belum lama memang tapi kami sudah merasa dekat.
“Mas, lepaskan jika itu membuatmu tidak nyaman tapi perjuangkan jika itu memang harus diperjuangkan.” Dulu aku memang memanggilnya Mas karena ia seniorku.
Dan selang beberapa minggu Abram mengatakan bahwa sudah putus dengan kekasihnya. Kala itu aku hanya junior sekaligus teman curhatnya, aku tidak pernah mengompori urusannya dengan pacarnya. Tapi sejak ia putus kami jadi semakin dekat, sangat dekat namun tanpa ikatan apa pun.
“Mel, gua itu cowok rusak, gua nggak mau lu deket-deket gua lu jadi rusak Mel.” Aku ingat sekali Abram pernah mengatakan itu di depanku.
“Justru kalo kamu cowok rusak adanya aku di samping kamu aku jadi bisa bantu kamu buat jadi lebih baik Bram.” Entah sejak kapan aku memanggilnya tanpa embel-embel ‘Mas’ sepertinya sejak Abram memanggilku dengan panggilan sayang, gelinya.
“Tapi Mel—” tangan Abram melingkar di pinggangku, jarak tubuh kami semakin dekat, tangannya mulai masuk ke dalam baju yang kukenakan kala itu.
“Be—Bram!”
.
.
.
Tbc
Comments
Post a Comment