![]() |
SOAL RINDU Part 4 |
.
.
.
“Be—Bram!” aku mengeram. Shit! Bodohnya aku malah melakukan hal itu sontak saja ia langsung menjatuhkan tubuhku ke atas sofa dengan ia di atas tubuhku. Wajahnya mendekat ke arahku dan dengan sigap kututup mulutku dengan tangan rapat.
Ia menghentikan aksinya, “apa?” tanyanya cengo.
Ku jawab dengan kedua tangan yang masih menutupi mulutku hingga suara yang kuhasilkan tidak jelas.
“Dibuka mulutnya, aku enggak denger sayang.” Aku terenyuh ketika ia sudah menggunakan panggilan aku-kamu.
Aku pun melepas tanganku dari mulut. “Kita belom halal, kalo mau ‘anu’ halalin aku dulu!” ucapku akhirnya.
Abram tertegun, aku yakin ia tidak akan bisa menjawabnya namun dugaanku meleset tanpa aba-aba ia langsung menyosor mencium bibirku sekilas. “Aku makin cinta sama kamu Mel,” ucapnya sambil memeluk tubuhku yang tidak berdaya di bawahnya.
Geli, ngeri, itu yang kurasakan sekarang. Hampir saja aku dimangsa olehnya dan untung saja nafsuku kala itu tidak menggebu-gebu. Tapi hal yang paling horor dari itu adalah ketika hubungan kami berjalan mulus dan indah namun tepat dibulan kedelapan kami kenal tiba-tiba...
“Mel, maaf—”
“Maaf kenapa?” tidak biasanya kulihat Abram seloyo dan sesedih itu. “Ada apa?”
“Mel, maaf kita nggak bisa sama-sama. Makasih.. makasih atas perasaan lu ke gua, gua hargai itu.. gua juga suka bahkan sayang sama lu tapi—”
“Bram kenapa?!” kuguncangkan kedua lengannya dengan mataku yang mungkin sudah memerah merasakan gejolak emosi yang campur aduk.
Abram menatap mataku sendu, kedua tangannya mengelus pipiku lembut. “Lu pasti bakal nemuin cowok yang lebih baik, baik, baik lagi dari gua. Maaf Mel maaf banget.”
“Maksudnya apa sih Bram?! Nggak lucu tau!” kuhempas tangannya dari kedua pipiku.
“Bulan depan gua bakal jadi suami orang. Gua bakal nikahin Vina karena dia hamil—dan itu karena gua.”
Glek! Seketika darah yang sedang mengalir damai dalam tubuhku meluncur jatuh ke bawah. Tubuhku lemah hingga langkahku mundur. “Mel—”
“Nggak usah pegang gua!” tanganku menepis.
“Mel, maaf.. gua emang cowok rusak, bajingan, keparat atau apalah yang mau lu sebutin. Kalo lu mau pukul gua pukul aja enggak papa Mel!” ucapan Abram menggebu-gebu sambil terus memukul dadanya sendiri. Aku tahu ada penyesalan dan kecewa yang amat dalam pada matanya tapi kenapa ini harus terjadi Bram. Ini yang aku takutkan jika hal itu terjadi antara aku dan kamu. “Mel—”
“Udah ya Bram, kita emang nggak pernah ada hubungan apa-apa selama ini. Gua cuman dijadiin bahan cadangan elu saat elu sendiri doang. Iya gua harusnya tau Bram—”
“Nggak gitu Mel—”
“Udah ya Bram. Udah! Gua nggak mau denger apa-apa lagi, penjelasan lu di awal udah cukup ngejelasin banyak hal.” Perlahan langkahku mundur, satu dua tiga langkah hingga akhirnya aku membalikkan badan dan berlari meninggalkannya.
“KARAMEL! KALO GUA SAYANGNYA SAMA ELO GIMANA?! KALO GUA CINTANYA SAMA ELO GIMANA?! KALO GUA MAUNYA SAMA ELO GIMANA MEL?!”
“Bulshit. Bulshit. Bulshit Bram!” ucapku lirih sambil terus berlari dengan air mata yang deras mengalir.
Mengerikan. Itu adalah hal mengerikan yang terjadi dalam hidupku, dan tentang cinta pertamaku.
Dulu sebelum mengenalnya aku selalu berpindah-pindah tempat, setiap dua sampai tiga bulan aku pindah. Entah kenapa, tapi yang aku ketahui adalah karena aku sulit beradaptasi dengan dunia luar, aku selalu mencari kenyamanan dalam diriku pada tiap tempat yang aku singgahi. Namun setelah mengenalmu aku bisa bertahan di satu tempat lebih dari setengah tahun. Kamu yang baik, perhatian, dan selalu ada setiap aku membutuhkan bantuan. Tapi sayangnya semuanya lenyap hanya karena kebodohan yang kamu lakukan.
Selamat tinggal Bram pada hari itu dan kita mungkin akan bertemu lagi dilain kesempatan, lain waktu, dan lain situasi. Semoga kamu mendapatkan kebahagiaan yang seutuhnya dengan tulang rusukmu dan semoga kamu pun dapat membahagiakan pasangan juga keluarga kecilmu. Di sini aku baik-baik saja. Benar katamu, aku pasti akan mendapatkan laki-laki yang lebih, lebih, lebih baik dari kamu, pasti, akan kuusahakan kucari diri itu sampai dapat.
Terima kasih untuk kebersamaan yang terjalin selama ini, untuk segala perhatian kecilmu, untuk rasa yang kau miliki padaku saat itu. Terima kasih, terima kasih telah menjadi bagian dari hidupku dan akan kuceritakan kelak ke anak-cucuku.
“Hingga kita bertemu.”
.
.
.
-END-
Comments
Post a Comment